Kritik

Influencer dan Ketidakpercayaan pada Proses Demokrasi

Beberapa waktu yang lalu, jagad dunia maya heboh karena salah satu influencer otomotif memutuskan untuk maju menjadi salah satu bakal calon kepala daerah di suatu kabupaten. Banyak pro dan kontra terhadap pencalonan influencer tersebut, dengan berbagai alasan.

Bahasan kita bukanlah tentang pro dan kontra pencalonan tersebut, tapi tentang fenomena partai politik yang sering mengangkat selebritis menjadi salah satu pasangan kepala daerah atau calon anggota legislatif. Ada beberapa kesimpulan yang bisa kita tarik dari fenomena tersebut.

Pertama, fenomena ini menunjukkan bahwa partai politik tidak memiliki kepercayaan terhadap kualitas kadernya sendiri, sehingga perlu meminang orang di luar partai untuk menjadi caleg atau calon kepala daerah. Berarti ada yang salah dalam sistem kaderisasi partai, sehingga tidak mampu menciptakan kader-kader yang memiliki kualitas untuk memimpin daerah atau mewakili daerah di parlemen.

Kesimpulan kedua adalah, partai politik tidak percaya dengan sistem demokrasi yang sedang berjalan, sehingga merasa perlu memakai selebritis dan influencer sebagai vote getter atau peraup suara. Partai politik menganggap bahwa sebagian besar masyarakat tidak cukup cerdas untuk memilih berdasarkan visi misi, namun hanya memilih tokoh yang mereka kenal.

Akhirnya, para vote getter ini hanya dimanfaatkan untuk meraih suara, tanpa merasa perlu ditingkatkan kapasitasnya sebagai kader yang akan duduk di parlemen atau pemerintahan. Bisa jadi nanti ketika mereka duduk di kursi pemerintahan atau parlemen, mereka hanya planga-plongo mengikuti rapat, tidak mengerti esensi atau topik yang sedang dibahas dan diperdebatkan. Mereka hanya mengikuti semua keputusan ketua fraksi atau ketua partai, tidak mau dan mampu memberikan pandangan tentang suatu topik atau masalah.

Namun yang pasti, maraknya fenomena ini menunjukkan gagalnya partai politik melakukan fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Akhirnya parpol memanfaatkan keterkenalan para selebritis ini untuk meraih suara. Secara konstitusi tidak menyalahi aturan apa pun, namun pada akhirnya rakyat jadi tidak diberikan pencerdasan politik. Rakyat tidak lagi melihat visi misi caleg atau calon kepala daerah, namun memilih hanya karena lebih dikenal saja. Makanya masyarakat sering terpengaruh dengan gimmick kampanye, tapi tidak melihat ide dan gagasan.

Sejak awal parpol sudah tidak percaya bahwa rakyat bisa memilih karena ide, atau mungkin tidak mau rakyat memilih karena ide dan gagasan. Mereka bisa sangat malas kampanye ide dan gagasa. Tidak heran kampanye di sosial media sangat masif dengan bantuan para pendengung (buzzer), untuk memengaruhi opini dan pilihan masyarakat.

Pada akhirnya, kecerdasan politik menjadi tanggung jawab pribadi. Jika menginginkan wakil yang tepat, kita lah yang harus repot mencari dan mempelajari rekam jejak partai serta caleg dan calon kepada daerah yang akan kita pilih.

Leave a comment