Salah satu pelajaran penting yang kudapatkan dari orang tua adalah bahwa menjadi orang tua itu harus siap berkorban. Tidak hanya itu, bahkan banyak buku, film, dan cerita-cerita yang menunjukkan bahwa salah satu bentuk cinta orang tua kepada anak adalah dengan berkorban banyak hal. Pengorbanan ini tidak hanya berupa materi atau uang, tapi juga berupa hal lain, termasuk kesenangan dirinya. Terlebih seorang ayah.
Laki-laki sebagai ayah dan suami, adalah pemimpin rumah tangga, maka sudah menjadi perannya untuk bekerja keras demi kebahagiaan keluarganya. Tidak jarang hal itu mengorbankan kebahagiaan dirinya, Aku tumbuh di tengah sosok-sosok ayah yang melepaskan kesenangan pribadinya untuk membahagiakan keluarganya. Sepanjang masa kecil hingga remaja, sosok-sosok ayah yang kutemui tidak memiliki hobi yang menjauhkannya dari keluarga.
Makanya, aku heran dengan banyaknya cerita dan konten yang menunjukkan seorang laki-laki berkeluarga yang lebih memilih tenggelam dalam hobinya, daripada bercengkerama dengan keluarganya. Tidak sedikit cerita laki-laki yang menghabiskan waktu dengan burung, gundam, sepakbola, atau motor, tapi luput menyisihkan waktu untuk dekat dengan keluarganya. Apalagi hobi-hobi yang memakan banyak biaya, sementara kebutuhan keluarganya kemudian dinomorduakan.
Entah kenapa, bayangan seorang bapak di kepalaku adalah seseorang yang rela menjadi perisai bagi keluarganya. Bapak adalah seorang yang tidak pernah mengeluh, seberat apa pun hidup di luar sana. Bapak adalah sosok tangguh pahlawan keluarga, walaupun setelah setua ini aku sadar bahwa sosok tangguh itu terluka dan berdarah-darah melewati kerasnya dunia. Terkadang itu juga yang membuat istri merasa tidak dianggap karena bapak/suami tidak menceritakan kesulitannya. Bukan, kami bukannya tidak mau bercerita, tapi kami hanya tidak mau para istri, ibu anak-anak kami, bertambah beban hidupnya. Kami tahu sebagai ibu saja sudah berat, tidak perlu ditambah dengan cerita kami.
Bagi seorang bapak, ia merasa harus menjadi dinding kokoh yang melindungi, tidak boleh retak dan goyang sedikit pun. Setiap membuka pintu rumah, maka tidak boleh menampakkan muka lelah, harus muka yang cerah dan berseri-seri, karena anaknya juga menyambut dengan keceriaan yang sama.
Kalau begitu apa seorang bapak tidak boleh memiliki hobi? Boleh saja pasti, menurutku. Namun, hobi adalah hal terakhir yang boleh seorang bapak lakukan, setelah selesai dengan kebahagiaan keluarganya.
Apakah memang harus sekeras itu seorang bapak pada dirinya sendiri? Itu menjadi pertanyaan besar juga dalam diriku. Boleh tidak, seorang bapak, mementingkan dirinya sekali saja dalam satu waktu? Boleh tidak seorang bapak menepi sejenak, merawat luka-luka, mengambil napas, untuk kemudian beranjak berjalan lagi? Sampai sejauh mana bapak boleh mementingkan dirinya sendiri?
Mendadak muncul sebuah pikiran dalam benakku.
Seorang laki-laki yang selingkuh adalah seorang pengecut yang menyerah menjalani perannya sebagai suami dan atau sebagai bapak. Ia memilih kesenangan dirinya dengan mengorbankan kebahagiaan keluarganya. Ia dengan egoisnya mementingkan dirinya sendiri, meninggalkan komitmen pernikahan dan tanggung jawab seorang ayah. Jika memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi, maka sebaiknya berpisah. Itu lebih menjadi langkah berani, daripada menyeleweng dengan wanita lain. Setidaknya anaknya tahu bahwa memang ada hal yang tidak bisa diselamatkan lagi dalam hubungan ayah ibunya, daripada nanti si anak berada dalam hubungan yang busuk dan merusak.