Catatan Abak

Catatan Abak #3: Berkorban

Salah satu pelajaran penting yang kudapatkan dari orang tua adalah bahwa menjadi orang tua itu harus siap berkorban. Tidak hanya itu, bahkan banyak buku, film, dan cerita-cerita yang menunjukkan bahwa salah satu bentuk cinta orang tua kepada anak adalah dengan berkorban banyak hal. Pengorbanan ini tidak hanya berupa materi atau uang, tapi juga berupa hal lain, termasuk kesenangan dirinya. Terlebih seorang ayah.

Laki-laki sebagai ayah dan suami, adalah pemimpin rumah tangga, maka sudah menjadi perannya untuk bekerja keras demi kebahagiaan keluarganya. Tidak jarang hal itu mengorbankan kebahagiaan dirinya, Aku tumbuh di tengah sosok-sosok ayah yang melepaskan kesenangan pribadinya untuk membahagiakan keluarganya. Sepanjang masa kecil hingga remaja, sosok-sosok ayah yang kutemui tidak memiliki hobi yang menjauhkannya dari keluarga.

Makanya, aku heran dengan banyaknya cerita dan konten yang menunjukkan seorang laki-laki berkeluarga yang lebih memilih tenggelam dalam hobinya, daripada bercengkerama dengan keluarganya. Tidak sedikit cerita laki-laki yang menghabiskan waktu dengan burung, gundam, sepakbola, atau motor, tapi luput menyisihkan waktu untuk dekat dengan keluarganya. Apalagi hobi-hobi yang memakan banyak biaya, sementara kebutuhan keluarganya kemudian dinomorduakan.

Entah kenapa, bayangan seorang bapak di kepalaku adalah seseorang yang rela menjadi perisai bagi keluarganya. Bapak adalah seorang yang tidak pernah mengeluh, seberat apa pun hidup di luar sana. Bapak adalah sosok tangguh pahlawan keluarga, walaupun setelah setua ini aku sadar bahwa sosok tangguh itu terluka dan berdarah-darah melewati kerasnya dunia. Terkadang itu juga yang membuat istri merasa tidak dianggap karena bapak/suami tidak menceritakan kesulitannya. Bukan, kami bukannya tidak mau bercerita, tapi kami hanya tidak mau para istri, ibu anak-anak kami, bertambah beban hidupnya. Kami tahu sebagai ibu saja sudah berat, tidak perlu ditambah dengan cerita kami.

Bagi seorang bapak, ia merasa harus menjadi dinding kokoh yang melindungi, tidak boleh retak dan goyang sedikit pun. Setiap membuka pintu rumah, maka tidak boleh menampakkan muka lelah, harus muka yang cerah dan berseri-seri, karena anaknya juga menyambut dengan keceriaan yang sama.

Kalau begitu apa seorang bapak tidak boleh memiliki hobi? Boleh saja pasti, menurutku. Namun, hobi adalah hal terakhir yang boleh seorang bapak lakukan, setelah selesai dengan kebahagiaan keluarganya.

Apakah memang harus sekeras itu seorang bapak pada dirinya sendiri? Itu menjadi pertanyaan besar juga dalam diriku. Boleh tidak, seorang bapak, mementingkan dirinya sekali saja dalam satu waktu? Boleh tidak seorang bapak menepi sejenak, merawat luka-luka, mengambil napas, untuk kemudian beranjak berjalan lagi? Sampai sejauh mana bapak boleh mementingkan dirinya sendiri?

Mendadak muncul sebuah pikiran dalam benakku.

Seorang laki-laki yang selingkuh adalah seorang pengecut yang menyerah menjalani perannya sebagai suami dan atau sebagai bapak. Ia memilih kesenangan dirinya dengan mengorbankan kebahagiaan keluarganya. Ia dengan egoisnya mementingkan dirinya sendiri, meninggalkan komitmen pernikahan dan tanggung jawab seorang ayah. Jika memang sudah tidak bisa diperbaiki lagi, maka sebaiknya berpisah. Itu lebih menjadi langkah berani, daripada menyeleweng dengan wanita lain. Setidaknya anaknya tahu bahwa memang ada hal yang tidak bisa diselamatkan lagi dalam hubungan ayah ibunya, daripada nanti si anak berada dalam hubungan yang busuk dan merusak.

Catatan Abak

Catatan Abak #2: Rumah

Beberapa waktu yang lalu aku ngobrol dengan salah seorang kawan lama, tentang kecenderungannya tidak mau meninggalkan rumah terlalu lama. Ia merasa keberatan jika harus melakukan pekerjaan di luar kota yang memaksanya meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama.

Aku berpikir, “Bukankah memang seharusnya seperti itu ya?” Bukankah seorang ayah harusnya mengikatkan dirinya di rumah, menghabiskan waktu luang yang dimiliki bersama anak dan istri. Seorang laki-laki seharusnya memperkuat ikatannya dengan anak dan istri, karena waktu interaksinya dibatasi oleh pekerjaan yang membuatnya tidak berada di rumah. Waktu interaksi yang terbatas itu harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ketika sekarang sudah berusia di ujung tiga puluhan ini, aku makin menyadari mengapa banyak sekali kasus anak yang kehilangan sosok ayah dalam hidupnya. Mungkin saja karena ayah sudah terlalu sibuk di luar rumah, lalu pulang dengan membawa beban dari luar, sehingga si anak menjadi “segan” untuk mendekat, dan bahkan sang ayah juga tidak mau berusaha mendekati anak.

Bukan bermaksud menyalahkan para ayah zaman dahulu, mungkin saja ia tidak bermaksud menjauh, cuma tidak tahu harus bagaimana. Mungkin saja ia merasa bahwa itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Bukankah kebanyakan orang tua dahulu, belajar parenting dari pengalaman saja, tanpa ada bimbingan khusus, bacaan, atau informasi seperti sekarang.

Aku bukan seorang yang anti “nongkrong”. Dahulu, hampir setiap malam kuhabiskan di luar rumah/kamar. Kalau tidak di salah Cokotetra Cafe Dago, atau Angkringan Narji dekat Masjid Salman. Hampir selalu saja ada teman yang ditemui di sana, bahkan menjadi teman ketika berada di sana.

Setelah menikah dan mempunyai anak, keinginan untuk berada di luar rumah di waktu luang hilang sama sekali. Mungkin karena dulu tidak sempat berbicara dengan mendiang bapak malam sebelum meninggalnya, aku jadi sangat menghargai waktu dengan orang tercinta. Selain itu, aku tidak ingin anakku tumbuh dengan kehilangan sosok ayah. Sebisa mungkin aku berusaha “hadir” dalam setiap momennya, menemani bermain, mendengarkan ceritanya, mengajaknya berjalan-jalan bersama, dan menjadi orang yang dicintainya.

Bagiku, rumah akan selalu menjadi tempat untuk pulang. Seletih apa pun, seberat apa pun tekanan di luar, rumah adalah tempat terbaik untuk healing. Senyuman istri dan kelucuan tingkah anak bagiku adalah obat segala penat. Mungkin karena aku sempat “kehilangan rumah untuk pulang”, maka ketika menemukan rumah, aku jadi sangat bersyukur.

Bisa jadi karena itu aku tidak bisa mengerti ada bapak yang lebih senang ada di luar rumah, dibandingkan berada di rumah dengan anak istrinya. Agak susah mencoba memandang dari kacamata mereka, karena “nilai” yang dianut sama sekali berbeda.

Tapi kembali lagi, nilai yang dianut orang bisa berbeda, maka bisa jadi dia memandang perannya sebagai ayah atau suami dengan cara yang berbeda. Apa hak kita untuk menilai dan menghakimi.

Catatan Abak

Catatan Abak #1: Anak Tantrum dan Orang Tua Tantrum

Kali ini aku coba membuat kategori baru, isinya adalah hal-hal terkait parenting, hubungan orang tua dan anak, serta tentang menjadi suami. Isinya ya hal-hal yang tiba-tiba muncul di pikiran, entah terkait pengalaman pribadi, hasil observasi, atau membaca bacaan-bacaan terkait.

Catatan pertama adalah tentang tantrum. Tantrum adalah kondisi ledakan emosi, yang ditandai dengan sikap keras kepala, menjerit, menangis, membangkang, bahkan sampai pada tindakan kekerasan–baik pada diri sendiri atau orang lain. Umumnya kondisi tantrum ini dikaitkan pada anak, yang belum mampu untuk mengekspresikan emosinya dengan benar, karena keterbatasan bahasanya.

Teman-teman yang memiliki dan pernah memiliki anak pada usia balita dan batita pasti pernah merasakan menghadapi anak yang tantrum. Sebagai orang tua, apalagi orang tua baru, tak jarang kita kebingungan menghadapi anak yang tantrum ini. Anak tidak bisa mengekspresikan perasaannya, sementara orang tua tidak mengerti keinginan anak.

Tidak jarang, kondisi tantrum anak ini juga menjadikan orang tua yang ikut tantrum. Orang tua jadi tidak bisa mengendalikan emosi, lalu marah, berteriak, membentak, bahkan sampai memaki, mencubit, dan memukul.

Untuk menghindari orang tua ikut tantrum karena anak yang tantrum, sudah banyak tips-tips menghadapi anak tantrum di internet. Teman-teman bisa mencari sendiri, lalu mengaplikasikan tips yang sesuai.

Bahasan kali ini lebih ke orang tua yang tantrum menghadapi kelakuan anaknya, tidak hanya ketika anak sedang “kumat” tantrumnya, tapi juga ketika anak sedang berperilaku sebagai anak-anak. Maksud sedang berperilaku sebagai anak-anak ini, anak yang masih senang main, kadang-kadang membantah perintah, tidak mau disuruh makan, tidur siang, atau masuk rumah.

Mungkin saja kita sebagai orang tua melihat anak dengan kacamata kita sebagai dewasa. Kita lupa melihat anak sebagai anak-anak yang seringkali fokusnya sangat gampang terganggu dengan hal-hal lain, masih senang bermain, masih sering tidak menyadari kondisi sekitarnya.

Kita juga sering lupa bahwa anak adalah cerminan dari kita, orang tua. Seorang teman psikolog pernah berkata bahwa sifat anak itu dari nature dan nurture. Maksudnya sifat anak itu bisa bersifat genetis, dan bisa juga karena dibentuk oleh lingkungannya. Anak, apalagi pada usia di bawah lima tahun, adalah peniru ulung. Mereka sangat cepat meniru perilaku orang-orang di sekitarnya. Kalau kita ungkapkan secara vulgar, “Jika anakmu kamu anggap bandel, nakal, keras kepala, pembangkang, NGACA!!!

Ada sebuah pernyataan menarik, “Seringkali orang tua adalah anak kecil yang disuruh mengasuh anak kecil lainnya.” Maksudnya, seringkali banyak orang tua yang masih belum mampu menjadi dewasa dalam mendidik anak. Mungkin bahasa anak sekarang, mereka belum selesai dengan dirinya, belum berdamai dengan trauma inner child-nya. Akibatnya mereka belum mampu mengendalikan emosinya.

Tekanan pekerjaan, desakan ekonomi, lelah dengan pekerjaan rumah, menjadi penyebab stress orang tua. Anak kadang menjadi pemicu ledakan emosi, dan tempat pelampiasan segala macam emosi negatif tadi. Melampiaskan emosi pada anak malah hanya akan membuat anak menjadi semakin keras kepala, membangkang, dan menimbulkan ledakan emosi lagi.

Mungkin semua harus dipersiapkan dari awal, sejak memutuskan untuk menikah. Mulai dari berdamai dengan diri sendiri, bersama pasangan menetapkan value yang akan dianut oleh keluarga, kemudian belajar ilmu parenting, psikologi anak, dan ilmu lain terkait perkembangan anak.

Tujuannya bukan supaya tidak lagi marah ke anak, tapi supaya ketika marah atau menegur anak, tidak dengan emosi yang meledak-ledak. Marah bisa jadi diperlukan kepada anak, supaya anak tahu ada batasan yang tidak boleh dilanggar. Cara marahnya yang harus diperhatikan.

Bukankah kita sebagai orang tua selalu ingin agar anak mampu hidup dan berfungsi secara utuh sebagai manusia. Kita ingin agar anak menjadi pribadi lebih baik, dengan hidup yang juga lebih baik dari yang kita lalui. Hal tersebut hanya bisa dicapai jika kita sebagai orang tua juga berusaha menjadi pribadi yang lebih baik, terus belajar dan memperbaiki diri.